Minggu, 03 Juli 2011

Ukuran Kebahagian

Kaya = Bahagia?
Oleh : Mila Azizah


Sebagai seorang anak yang terlahir dari keluarga yang memiliki materi standar-standar saja, bahkan bisa dibilang berada d bawah rata-rata, dengan penghasilan orangtua sebagai petani yang tidak mencukupi biaya sekolah 9 orang anaknya (saya adalah anak yang terakhir), tidaklah mengurangi arti BAHAGIA yang saya rasakan, meski sedikit. Sempat terfikir, menjadi bagian dari keluarga dengan materi yang memadai adalah suatu kebahagiaan.. BENARKAH..???

Dalam menjalani kehidupan, tentu semua orang ingin memperoleh kebahagiaan. Anda, saya, saudara kita, tetangga kita, dan siapapun berhak bahagia.

Namun APA arti Bahagia bagi manusia??
Apa ukuran kebahagiaan itu? Harta kah?
Lalu seperti apakah jalan kebahagiaan itu??

Menurut Aristoteles, BAHAGIA adalah suatu kesenangan yang dicapai oleh setiap orang menurut kehendak masing-masing. Ukuran bahagia adalah diri sendiri.
Penjelasan bahagia yang lebih operasional, bisa kita ambil dari apa yang disabdakan Rasulullah SAW, "Kesempurnaan kebahagiaan bermuara pada kesempurnaan akal. Semakin bertambah sempurna dan murni akal itu, semakin bertambah tinggilah derajat bahagia yang kita capai."
Al-Qur'an sendiri menjelaskan bahwa orang yang berbahagia adalah orang yang nilai kebaikannya lebih berat dari kejelekannya, meskipun bedanya hanya sedikit.

Lalu bagaimana dengan orang yang menilai bahwa kebahagiaan itu dapat diukur dari kekayaan yang dia miliki..? 

Menjadi kaya memang enak. Kita bisa melakukan apa saja dengan kekayaan yang kita miliki. Namun tunggu dulu...!! Sudahkah kita tau bagaimana harus bersikap sebagai orang kaya? Sebetulnya, menjadi kaya memerlukan kesiapan mental. Kita tahu caranya kaya, tetapi sedikit sekali informasi mengenai apa yang harus dilakukan setelah kaya. Ada sebuah ucapan opejabat jepang, "We know how to become rich. The tragedy is that we don't know how to be rich."

Kekayaan bisa membuat seseorang takut. Dan membuat seseorang Memikirkan hal-hal buruk seandainya kekayaannya mulai habis. Semakin kaya, maka akan semakin sulit menjaganya. Khawatir jika kekayaannya akan lenyap begitu saja.
Maka cocoklah apa yang pernah dilontarkan Ali bin Abi Thalib "Harta mengeraskan hati, sedangkan ilmu menyinari hati. Tetapi ilmu menyinari hati Karena ilmu akan menjagamu, sedangkan harta, justru kamu yang harus menjaganya."

Kekayaan juga sering membuat orang lupa diri. Bahkan terkadang membuat orang menutupi asal-usulnya. Ingatkah cerita Malin Kundang? Ia berbohong dan tak ingin mengakui Ibunya yang merupakan bagian dari masa lalunya. Rupanya hikayat Malin Kundang banyak diikuti oleh manusia modern saat ini. Bohong menjadi trendi. Dan banyak yang tidak menyadari jika berbohong bisa menjadi rantai dusta. menjadi lingkaran setan yang tak kan pernah usai kecuali si pelaku yang mengakhirinya. karena Satu kebohongan akan diikuti oleh kebohongan lain, untuk menutupi kebohongan yang sebelumnya.

Padahal Allah telah berfirman dalam Q.S An-Nahl : 105
"Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta."

Gemilang harta adalah hal yang fana. Qarun dan Fir'aun adalah bukti sejarah fananya kegelimangan harta dan kekuasaan. Benarlah apa yang Rasulullah SAW sabdakan, "Salah satu yang paling kutakuti menimpa kalian adalah gemerlap harta benda."

Namun benarkah kita tidak boleh menjadi kaya..???

Tentu saja boleh. Atau mungkin bisa di bilang mesti. Salah satu rukun Islam pun menuntut kita untuk menjadi kaya. Bisakah menunaikan ibadah haji tanpa harta? Tentu saja tidak. Karena ibadah haji adalah ibadah badaniah dan maaliyah (yang membutuhkan harta). Bahkan Rasul pun telah mengingatkan kita agar berhati-hati, karena kemiskinan itu dapat membawa kepada kekufuran. Namun yang perlu digarisbawahi adalah "Apa yang mesti dilakukan ketika menjadi kaya?" Maka Nabi Sulaiman adalah uswah yang mesti diteladani.

Ya, Kebahagiaan bisa saja didapat dari kekayaan. Namun kekayaan bukanlah dasar utama bahagianya seseorang. Karena harta adalah suatu hal yang bersifat duniawi. dan yang mesti dilakukan adalah bagaimana langkah agar harta yang bersifat duniawi dapat bermanfaat sepenuhnya sebagai perantara mencapai ukhrawi. Jika kita mempergunakan sebaik-baiknya, terutama dalam hal mengeluarkannya di jalan Allah, maka itulah langkah yang sangat dianjurkan. bahkan dapat dikatakan suatu keharusan. begitu juga dengan  Memperbanyak amal dengan harta yang kita miliki.

Jadi kebahagiaan itu hanya kita sendiri yang dapat mengukurnya. Suatu hal yang membuat orang bahagia, belum tentu hal itu adalah kebahagiaan pula bagi kita. Ketaatan kepada-Nya, meneladani Rasul-Nya, dan 2 pedoman hidup adalah dasar awal mencapai kebahagiaan.

Bagi saya sendiri, kebahagiaan itu adalah ketenangan yang dirasa oleh jiwa. Ketentraman yang tak dapat diraba oleh zahirnya jasmani. Kesejukan yang dirasakan oleh hati. Kekurangan harta yang saya dan orang alami bukanlah penghalang untuk bahagia. Justru dengan kekurangan itulah saya berbahagia. Akan terasa betapa indahnya jika dengan kekurangan harta yang kita miliki, kita dapat memiliki kekayaan ilmu dan hati. Perjuangan itu sangat terasa meski dengan tertatih dan kebahagiaan tak terkira yang akan terasa merasuk jiwa jika kita telah mencapai hasil dari perjuangan yang maksimal.

Maka dia adalah Orang tua terhebat yang telah menjadikan 6 anakanya SARJANA dan akan terus berjuang agar 2 kakak dan saya sebagai anak terakhir menjadi SARJANA dengan perjuangan yang tak kenal peluh.


Bukanlah kebahagiaan jika kita mendapakan apa yang kita inginkan, melainkan mendapatkan apa yang kita butuhkan. Bagaikan meneguk air di tengah teriknya padang sahara.

"Dan sesungguhnya Manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya." (Q.S An-Najm: 39)